Adakah yang Disebut Bad Day?


Orang sering suka melebih-lebihkan, karena satu atau dua kejadian yang tidak sesuai dengan keinginan dengan dirinya, ia memberikan stigma bad day pada hari itu. Padahal, ketika kita memberikan stigma bad day, kita sedang menunggu keburukan-keburukan lain yang akan menghampiri kita.

Ketika kita memberikan stigma bad day, kita sesungguhnya tengah mengirimkan sinyal-sinyal ke alam semesta untuk mengirimkan hal-hal yang buruk kepada kita. Kita memberikan stigma bad day karena kita meletakkan emosi di atas rasio.

Tubuh kita didesain oleh Tuhan dengan begitu sempurna. Pikiran diwakili oleh otak, dan perasaan diwakili oleh hati. Ketika kita meletakkan perasaan di atas pikiran, maka kita sesungguhnya tengah menentang hukum alam.

Kecenderungan emosi adalah bergerak terus. Apa yang kita rasakan di menit ini akan mempengaruhi menit-menit berikutnya. Untuk membatasi agar emosi suatu kejadian tidak mempengaruhi kejadian-kejadian selanjutnya, maka kita perlu memberikan penyataan yang spesifik.

Jika kita mengalami satu kejadian buruk, cukup berikan nama bad pada kejadian tersebut, bukan menggeneralisasinya sebagai bad day. Dengan melakukan lokalisasi bad pada kejadian tertentu, kita sedang mengentikan emosi untuk mempengaruhi diri kita pada kejadian-kejadian selanjutnya.

Agar tidak terjebak pada stigmatisasi bad day, kita harus spesifik. Katakan bad meeting, bad presentation, bad conversation, dan bukan bad day. Kita harus menggunakan kalimat past tense, bukan present continuous tense. Gunakan kata “tadi”, untuk mengatakan pada alam bawah sadar kita bahwa itu sudah terjadi.

“Hari di mana saya harus berjuang lebih keras adalah good day, bukan bad day” ~Arvan Pradiansyah

 

Disarikan dari talkshow Smart Happiness “Adakah yang Disebut Bad Day?” di Radio SmartFM bersama Arvan Pradiansyah, Motivator Nasional—Leadership & Happiness

Leave a Reply

Your email address will not be published.