Citra dan Kebahagiaan

“The most exhausting thing you can do is to be inauthentic.” — Anne Morrow Lindbergh

Ada dua jalan menuju kesuksesan. Pertama, jalan normal yang panjang dan berliku. Di sepanjang jalan ini penuh dengan perjuangan. Kedua, jalan pintas. Di jalan ini orang tidak perlu melakukan banyak hal, tapi bisa cepat mencapai kesuksesan. Di jalan kedua ini, yang perlu dilakukan hanyalah pencitraan, yakni bagaimana kita bisa dilihat baik oleh orang-orang tanpa harus melakukan perbuatan baik itu sendiri.

Sepintas, jalan kedua menggiurkan, mudah, dan tidak banyak menuntut biaya. Padahal, hukum alam menyatakan bahwa semua yang ada di dunia ini ada harganya. Demikian pula kesuksesan, dia memiliki harga yang harus kita bayar. Persoalannya, apakah kita akan membayarnya di muka (investasi) seperti di jalan pertama, atau membayarnya di belakang (biaya) seperti di jalan kedua.

Hukum alam lainnya menyatakan bahwa semua yang ada di dunia ini membutuhkan proses atau tahapan-tahapan. Untuk bisa berlari, seorang anak harus menjalani tahapan merangkak, duduk, berdiri, berjalan, kemudian barulah berlari. Sayangnya, manusia cenderung senang jika ada tahapan yang kita lompati, seolah itu sebuah prestasi. Padahal, setiap pelanggaran terhadap hukum alam akan berdampak pada goyahnya keseimbangan.

Orang-orang yang gemar melompati tahapan untuk mencapai kesuksesan akan menggunakan pencitraan. Mereka mencitrakan diri telah melakukan semua tahapan, padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Itu berarti, orang yang melakukan pencitraan sesungguhnya tengah melakukan pelanggaran terhadap hukum alam.

Orang-orang yang melakukan pencitraan bukanlah orang-orang yang berbahagia. Sebab orang-orang yang berbahagia adalah mereka yang be good, sementara orang-orang yang melakukan pencitraan adalah mereka yang looks good. Tentu saja tidak ada yang salah dengan looks good jika kita memang be good. Permasalahannya, orang yang melakukan pencitraan melompati tahapan be good, dan langsung menjadi looks good.

Orang yang berbahagia adalah orang yang otentik, apa yang ditampilkannya di front stage sama dengan apa yang ada di back stage-nya. Jika back stage kita buruk, maka perbaikilah back stage itu, bukan justru menutup-nutupi bopeng back stage kita di front stage. Semakin besar kesenjangan antara back stage dan front stage, maka semakin jauh kita dari kebahagiaan karena kita semakin menjadi orang yang tidak otentik.

Jadilah be good dan be happy, bukan looks good dan looks happy! []

Leave a Reply

Your email address will not be published.