Disability Is A Mindset

Tuhan menciptakan kita untuk bisa (able), bukan tidak bisa (disable). Oleh karena itu, bagaimana pun diri kita yang diciptakan Tuhan, kita pastilah bisa menjalankan tugas suci yang diamanahkan Tuhan kepada kita, yakni memberikan manfaat bagi sesama.

Untuk menjalankan misi suci tersebut, Tuhan membekali setiap kita dengan tiga hal: fisik (body), mental (mind), dan spiritual (soul). Ketiganya diciptakan untuk seiring sejalan. Adapun fisik, maka ia bersifat terbatas.

Mata kita, misalnya, hanya bisa melihat ke arah depan dengan sudut pandang dan fokus yang amat terbatas. Demikian pula dengan telinga kita, yang hanya bisa menangkap suara-suara di frekuensi tertentu. Fisik amatlah terbatas.

Namun, saat kita memejamkan mata, kita seolah-olah bisa melihat apa pun yang kita ingin lihat. Bukan hanya terbatas pada dimensi ruang, kita pun bisa melihat apa-apa yang telah terjadi di masa lalu. Itulah kelebihan sisi non-fisik manusia yang bersifat lebih luas dan tak terbatas.

Dengan kata lain, dalam dimensi fisik, manusia boleh terbatas, namun tidak di dimensi lain, yakni mental dan spiritual. Inilah yang kita saksikan saat ini dalam ajang olahraga se-Asia untuk para penyandang disabilitas, Asian Para Games 2018 di Jakarta.

Para atlet yang memiliki keterbatasan fisik dibandingkan denan kebanyakan orang membuktikan bahwa keterbatasan tersebut bukanlah halangan bagi mereka untuk menorehkan prestasi di bidang olahraga. Ini semua terjadi karena mereka telah keluar dari keterbatasan fisik menuju mindset bisa.

Keterbatasan itu sesungguhnya hanya ada di pikiran kita. Sementara keindahan yang hakiki bukanlah bersifat fisik, tetapi ada dalam dimensi mental dan spiritual.

Asian Para Games bukan sekadar memberikan tempat bagi para penyandang disabilitas, melainkan membuka mindset kita. Mindset bahwa penyandang disabilitas sudah melompati fase objek yang patut dikasihani menjadi pemberi inspirasi.

Semua ini merupakan perwujudan dari bersyukur, yang penerimaan (acceptance) dan pengeksplorasian (exploration). Disabilitas sesungguhnya bukanlah masalah fisik, melainkan masalah mental.

Orang yang mengalami disabilitas mental—meskipun sempurna secara fisik—telah mengungkung diri mereka sendiri dalam keterbatasan yang mereka ciptakan sendiri. Karena disabilitas mental ini tidak kasat mata, maka banyak orang yang tidak menyadarinya.

Ciri orang yang mengalami disabilitas mental adalah menyalahkan orang lain. Ketika dia tidak mampu melakukan sesuatu, maka dia akan mencari-cari penyebab ketidakmampuannya tersebut di luar dirinya. Ketika kita punya masalah, dan merasa tidak bisa keluar dari masalah itu, mungkin kita mengalami disabilitas mental.

Agar kita bisa bahagia, kita harus memiliki seperangkat belive (kepercayaan). Yang pertama, kepercayaan bahwa kita bisa. Bukankah Tuhan menciptakan kita untuk bisa? Yang kedua, kepercayaan bahwa apa pun yang bisa kita bayangkan, bisa kita wujudkan.

Impian kita sebenarnya sebuah isyarat dari Tuhan bahwa kita bisa. Cara membangunkan raksasa tidur dalam diri kita adalah dengan bersyukur. Bersyukur dalam makna menerima (to accept) dan mengeksplor (to explore).

Hanya satu yang harus kita takutkan dalam hidup ini, yakni rasa takut itu sendiri.

 

Disarikan dari talkshow Smart Happiness “Disability Is A Mindset” di Radio SmartFM bersama Arvan Pradiansyah, Motivator Nasional—Leadership & Happiness

Leave a Reply

Your email address will not be published.