Dosa

“Orang tidak dihukum karena dosanya. Orang dihukum oleh dosanya”—Arvan Pradiansyah

Salah satu yang menjauhkan kita dari kebahagiaan adalah dosa. Namun anehnya, banyak orang melakukan dosa justru untuk mendapatkan kebahagiaan. Orang korupsi karena ingin bahagia. Orang berselingkuh juga karena ingin bahagia.

Semua perbuatan dosa dilakukan orang karena ingin bahagia. Padahal dosa dan bahagia itu ibarat minyak air, tidak akan pernah bersatu dalam kondisi apa pun. Alih-alih merasa bahagia, saat seseorang melakukan dosa, secara intrinsik dosa tersebut akan langsung menghukumnya. Ada perasaan bersalah, takut, was-was, yang terus menghantui dan membebani hidupnya.

Uniknya, jika dosa tersebut pertama kali dilakukan, beban tersebut akan terasa sangat berat. Namun, jika seseorang terus-menerus mengulangi perbuatan dosa, lama-kelamaan bebannya akan terasa semakin ringan, dan menjadi candu (addiction) untuk melakukannya lagi dan lagi. Hingga pada akhirnya, seseorang menganggap dosa itu menjadi hal yang biasa.

Sebenarnya Tuhan telah membekali setiap manusia dengan alarm pribadi yang menyala setiap kali seseorang melakukan dosa. Alarm pribadi ini adalah hati nurani berupa suara yang berbisik kepada manusia saat mereka melakukan dosa.

Sayangnya, banyak manusia yang tidak mau mendengarkan suara berbisik ini, atau bahkan sengaja “mematikan”-nya. Apabila itu terjadi, tak seorang pun yang bisa menyalakan kembali alarm tersebut kecuali sang pemilik yang sengaja mematikannya.

Salah satu bentuk alarm ini adalah perasaan menyesal karena telah melakukan dosa. Perasaan menyesal inilah esensi dari tobat yang menjadi prasyarat pengampunan Tuhan. Kesalahan terbesar kita adalah menganggap bahwa Tuhan akan mengampuni seluruh dosa kita.

Padahal, Tuhan hanya mengampuni dosa apabila kita bertobat. Mustahil bagi kita untuk bertobat jika tidak ada perasaan menyesal karena telah melakukan perbuatan dosa. Alih-alih menyesal, kebanyakan manusia justru membanggakan dosa-dosa yang pernah mereka perbuat.

Sebagai contoh, mungkin ada di antara kita yang pernah mencontek saat ujian sekolah atau kuliah dulu. Ketika melakukannya, kita pasti dibayang-bayangi perasaan bersalah, takut, was-was, dan sebagainya sebagai hukuman intrinstik dari dosa mencontek.

Namun, setelah lulus sekolah atau kuliah, kita mengenangnya tanpa perasaan menyesal atau bahkan malah “bersyukur” karena beranggapan seandainya kita tidak mencontek, kita mungkin tidak lulus ujian. Apakah kita sudah bertobat dari mencontek? Tentu tidak! Bagaimana mau dikatakan bertobat, sementara perasaan menyesal karena sudah mencontek pun tidak ada?

Jadi, anggapan bahwa bertobat itu mudah pun merupakan anggapan yang keliru. Langkah pertama dari tobat adalah menyesal. Tidak ada tobat tanpa perasaan menyesal. Setelah itu, barulah menjalankan ritual sebagai penebus dosa sesuai dengan keyakinan kita.

Saat terlahir ke muka bumi, kita diibaratkan sebagai kertas putih yang masih kosong. Perumpamaan dosa-dosa adalah noda-noda hitam di atas kertas putih tersebut. Tobat kemudian menghapus noda-noda hitam tersebut hingga kertas kembali putih seperti semula.

Inilah titik nol manusia. Titik keseimbangan atau equilibrium. Di titik nol inilah terdapat kebahagiaan yang hakiki.

Leave a Reply

Your email address will not be published.