Hoax vs. Happiness

Pada dasarnya setiap orang selalu merindukan dan mencari kebenaran. Pertanyaan yang setiap saat dilontarkan oleh manusia ditujukan untuk mencari kebenaran. Itu semua terjadi karena manusia adalah makhluk dari Sang Maha Benar yang telah menanamkan DNA kebenaran ke dalam diri manusia.

Maka, tatkala seseorang berbohong, seluruh tubuhnya pun sekonyong-konyong bereaksi menolaknya. Orang yang secara khusus mempelajari bahasa tubuh, akan dapat dengan mudah mendeteksi kebohongan dari gestur dan mimik seseorang.

Bila ditelisik dari sejarah manusia, hoax pertama telah dialami oleh manusia pertama Adam dan Hawa. Keduanya telah menjadi korban hoax yang diciptakan oleh Iblis untuk mengeluarkan mereka dari surga, yang merupakan puncak kebahagiaan.

Sejak saat itu, hoax menjadi musuh abadi kebahagiaan. Ketika seseorang memilih jalan hoax, maka dia telah menjauh dari kebahagiaan. Mustahil bagi kebahagiaan berada di jalur yang sama dengan hoax.

Namun ironinya, akhir-akhir ini, khususnya di media sosial, kita menyaksikan begitu banyak hoax beredar dan meracuni akal sehat kita. Diakui atau tidak, hoax telah menjadi alat bagi orang-orang untuk mencapai sebuah tujuan, baik itu bermotif ekonomi untuk mengeruk keuntungan, maupun bermotif politik untuk mendapatkan kekuasaan.

Ketika kebenaran disampaikan kepada orang-orang yang termakan hoax, reaksi pertama mereka adalah kaget. Dengan berbagai alasan, tetap ada orang-orang yang berpegang teguh pada informasi hoax ketimbang menggantinya dengan kebenaran, padahal sejatinya manusia adalah makhluk yang mencintai kebenaran.

Hoax sengaja diciptakan oleh orang-orang untuk menimbulkan keresahan publik, dan digunakan untuk mencapai sesuatu yang tidak bisa dicapainya dengan cara yang jujur. Orang-orang yang fanatik menjadi objek empuk dari hoax ini.

Orang-orang fanatik telah menggadaikan sikap kritis mereka karena keberpihakan yang membabi buta. Bagi orang yang fanatik, informasi apa pun yang berasal dan menguntung bagi kelompoknya adalah kebenaran.

Agar kita tidak mudah termakan hoax atau bahkan ikut menyebarkannya, kita harus memiliki sikap kritis terhadap semua informasi yang kita terima. Untuk itu, kita harus membuang jauh-jauh sikap fanatik yang mematikan daya kritik dan akal sehat kita.

 

Disarikan dari talkshow Smart Happiness “Hoax vs. Happiness” di Radio SmartFM bersama Arvan Pradiansyah, Motivator Nasional—Leadership & Happiness

Leave a Reply

Your email address will not be published.