Honesty

“Being honest may not get you a lot of friends but it’ll always get you the right ones.” —John Lennon

Kejujuran berbeda dengan integritas. Kejujuran adalah mengatakan apa yang sudah dilakukan. Sedangkan integritas adalah melakukan apa yang sudah dikatakan.

Berangkat dari definisi di atas, dengan kata lain ketidakjujuran atau kebohongan adalah mengatakan apa yang belum dilakukan. Berbohong berkaitan dengan apa-apa yang belum kita lakukan.

Lantas, mengapa kita berbohong? Apa motivasi yang melatari kita untuk berlaku tidak jujur? Jawabannya adalah karena kita ingin terlihat baik (looks good) meskipun kita belum melakukan sesuatu.

Ingin terlihat baik (looks good) sebenarnya bukan hal yang buruk. Hal ini menjadi buruk apabila kita ingin terlihat baik, tetapi kita tidak berbuat baik (be good). Manusia kerap terjebak memilih jalan pintas ketimbang harus berproses.

Kita memilih jalan pintas untuk terlihat pintar, namun enggan melakukan sesuatu agar kita pintar. Kita ingin terlihat rajin, namun bangun di pagi hari pun rasanya malas sekali. Kita ingin menjadi kaya, namun tidak mau berusaha dan berkorban untuk menjadi kaya. Kecenderungan untuk memilih jalan pintas inilah yang mendorong kita untuk berbohong.

Orang yang berbohong itu lebih buruk daripada orang yang berbuat buruk sebab orang yang berbohong melakukan dua kali kesalahan: tidak berbuat baik dan mengaku telah berbuat baik. Sementara orang yang berbuat buruk (selama dia tidak mengaku berbuat baik) hanya melakukan satu kali kesalahan.

Langkah pertama untuk memperbaiki diri dimulai dari berlaku jujur atau tidak berbohong. Ketika kita mampu berlaku jujur, maka kita tidak akan bisa bebuat buruk karena tahu akan konsekuensi dari perbuatan buruk kita.

Tugas pertama kita adalah menjadi baik (be good), kemudian barulah terlihat baik (looks good). Bukan sebaliknya.

Kejujuran sebenarnya merupakan fitrah manusia. Kejujuran telah terpatri (hard-wired) dalam diri setiap manusia. Hal ini terlihat dari perilaku anak kecil yang selalu berlaku jujur; tidak pernah berbohong.

Namun, seiring dengan bertambahnya pengalaman kita saat memperoleh pengalaman yang tidak menyenangkan saat berlaku jujur, barulah kita mulai berbohong. Misalnya ketika seorang anak kecil yang jujur mengakui kesalahan, dan dia dimarahi oleh orang tuanya, di sanalah dia belajar untuk menutupi kesalahannya dengan memanipulasi fakta atau berbohong.

Karena kejujuran adalah fitrah, kita sesungguhnya didesain Tuhan untuk berlaku jujur. Hal ini terbukti dengan berontaknya seluruh tubuh kita saat berlaku tidak jujur. Mata kita, tangan kita, gerakan tangan dan kaki kita, detak jantung kita, semuanya memberikan reaksi ketika kita berbohong.

Dari sanalah alat untuk mendeteksi kebohongan (lie detector) diciptakan. Alat itu membaca reaksi tubuh manusia yang terjadi saat berbohong.

Sebagai fitrah manusia, salah besar apabila ada yang mengatakan bahwa kejujuran itu menyakitkan. Yang menyakitkan bukanlah kejujuran, melainkan melakukan sesuatu yang buruk. Kejujuran itu indah jika kita tidak melakukan hal yang buruk.

Sebaliknya, kebohongan itulah yang menyakitkan sebab kebohongan itu tumbuh dan beranak pinak. Satu kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan lainnya. Hal ini akan menyiksa pelakunya.

Ada beberapa tipe pembohong:

  1. Occasional liar, orang yang sesekali berbohong. Saat dia berbohong, dia akan merasa tidak nyaman.
  2. Frequent liar, orang yang sering berbohong dengan berbagai alasan, salah satunya adalah menjadi looks good di hadapan orang lain.
  3. Habitual liar, orang yang telah menjadikan berbohong sebagai kebiasaan. Hari-harinya dipenuhi dengan kebohongan. Apa pun yang dilakukannya kemungkinan besar adalah bohong.
  4. Pathological liar, orang yang mengidap kelainan/penyakit untuk selalu berbohong.

Leave a Reply

Your email address will not be published.