The New Science of Gratitude

“There are to ways to live: you can live as if nothing is a miracle or you can live as if everything is a miracle.” —Albert Einstein

Bersyukur adalah sebuah kata yang sering kita dengar dan ucapkan. Semua agama mengajarkan pemeluknya untuk bersyukur. Namun sayang, bersyukur lebih mudah diucapkan daripada dipraktikkan. Bahkan, tidak sedikit orang yang tidak tahu bagaimana cara bersyukur.

Dalam satu dekade terakhir, ilmu psikologi mulai meneliti tentang bersyukur. Salah satu psikolog yang mendedikasikan dirinya untuk meneliti tentang syukur adalah Robert Emmons. Emmons menelititi dampak bersyukur terhadap kebahagiaan seserorang.

Dalam penelitiannya, Emmons membagi tiga kelompok orang yang diberi tugas khusus selama lima pekan. Kelompok pertama diminta untuk menuliskan karunia yang mereka terima dalam seminggu. Kelompok kedua diberi tugas sebaliknya, menuliskan keluhan mereka dalam seminggu. Kelompok ketiga berfungsi sebagai control group dengan menuliskan keduanya.

Hasilnya, kelompok pertama yang diberi tugas menuliskan karunia yang mereka dapatkan selama lima pekan ternyata lebih bahagia. Aktivitas menuliskan karunia ini disebut dengan counting blessing.

Banyak orang yang menyangka dirinya telah bersyukur, padahal sesungguhnya tidak  bersyukur karena mengaitkan rasa syukurnya dengan sesuatu yang tidak ia miliki dengan mengatakan bahwa ia bersyukur jika memiliki sesuatu. Bersyukur itu bersifat spontan, dan tidak bisa dibuat-buat .

Orang yang tidak bisa bersyukur karena dia tidak terlatih untuk melihat dengan mata batin. Melihat dengan mata batin adalah memikirkan penciptaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalam diri kita. Orang yang tidak berpikir, tidak mungkin bersyukur.

Bersyukur itu dimulai dari memikirkan, merenungkan, dan berujung pada merasa berhutang budi. Salah satu cara untuk menumbuhkan rasa syukur adalah dengan membayangkan kehilangan sesuatu yang kita miliki.

Kita sulit bersyukur karena 3 hal:

  1. Karena tidak mau berpikir, tidak mau merenung.
  2. Karena kita menganggap semua itu biasa, taken for granted.
  3. Karena kita merasa berhak, entitlement.

Dunia ini sesungguhnya terdiri dari hadiah-hadiah yang harus kita syukuri. Ketika kita merasa berhak atas segala sesuatu, maka kita tidak bisa bersyukur. Dunia ini begitu gersang jika kita hanya berbicara soal hak dan kewajiban. Pendekatan happiness bukanlah hak dan kewajiban, melainkan saling berbagi hadiah.

Ekspresi tertinggi dari bersyukur adalah menangis. Menangis karena kita merasa tidak mampu membalas. Menangis karena kita menyadari bahwa kita adalah makhluk yang sangat bergantung pada yang lain. []

 

Disarikan dari talkshow Smart Happiness “The New Science of Gratitude” di Radio SmartFM bersama Arvan Pradiansyah, Motivator Nasional di bidang Leadership & Happiness.

Leave a Reply

Your email address will not be published.