Pemilu: The Happiness Moment

Pemilu 2019 tinggal menunggu hitungan jari. Puncak dari pesta demokrasi lima tahunan negara kita. Pemilu adalah momentum bagi kita untuk meluapkan ekspresi cinta kepada negeri.

Namun, semakin mendekati hari pencoblosan, suasana menjadi lebih tegang. Kita harus ekstra berhati-hati dalam berucap karena apa pun yang keluar dari lisan atau tulisan kita yang mencerminkan pikiran kita, dapat dimaknai berbeda oleh orang lain.

Di saat minggu tenang, ada baiknya kita menghindari semua perdebatan tentang politik. Karena banyak perdebatan yang sia-sia karena politik adalah soal rasa, bukan rasio. Pilihan politik sama dengan jatuh cinta. Rasa lebih mendominasi daripada rasio.

Pemilu mirip dengan pesta perkawinan di mana segala rasa berkecamuk menjadi satu. Ada perasaan cemas, khawatir, takut, tegang. Tetapi semua perasaan itu bisa kita kendalikan karena kita tahu bahwa apa yang sedang kita tuju adalah kebahagiaan.

Pemilu juga merupakan sarana ekspresi diri sekaligus cara kita untuk menentukan nasib bangsa kita ke depan. Inilah hakikat kemerdekaan. Tanpa kemerdekaan, kita tidak bisa mengekspresikan diri kita, dan tidak ada pemilu.

Ciri orang yang merdeka adalah bisa menentukan nasibnya sendiri. Bukankah tidak ada pemilu pada masa penjajahan? Pada masa penjajahan, nasib bangsa kita ditentukan oleh penjajah, bukan oleh diri kita sendiri.

Jadi, pemilu adalah ekspresi kemerdekaan. Dengan menyadari ini, maka perasaan-perasaan buruk yang berkecamuk menjelang hari pencoblosan seharusnya berada di bawah perasaan bahagia. Bukan sebaliknya, justru perasaan-perasaan tersebut lebih mengemuka ketimbang perasaan bahagia.

Lihatlah pemilu seperti pesta perkawinan, walaupun banyak perasaan berkecamuk, kita tetap bahagia.

Pemilu adalah ekspresi diri, tapi harus didasari oleh cinta. Orang yang lagi jatuh cinta selalu membayangkan kelebihan pasangan kita. Orang yang jatuh cinta tidak pernah memikirkan kekurangan pasangan orang lain. Semua yang ada dalam pandangan orang yang jatuh cinta adalah hal-hal positif.

Siapa pun pilihan kita dalam pemilu, itu merupakan cerminan diri kita. Kita mempunya karakter yang kurang lebih sama, nilai-nilai yang kurang lebih sama dengan capres dukungan kita.

Kita tidak perlu meyakinkan orang lain untuk memilih apa yang kita pilih sebab pilihan politik adalah masalah rasa, seperti halnya jatuh cinta. Ketika kita jatuh cinta, maka yang ada di dalam benak kita, dan apa yang terus-menerus kita ucapkan adalah hal-hal positif tentang pasangan kita.

Orang yang jatuh cinta tidak punya waktu untuk menilai pasangan orang lain, terlebih lagi menjelek-jelekkan pasangan orang lain. Kalau kita ingin bahagia dalam pemilu ini, bayangkan situasi saat kita jatuh cinta.

Golput itu hak. Kita boleh memilih untuk menjadi golput karena itu hak. Tapi menjadi golput menunjukkan bahwa kita tidak memiliki cinta. Orang yang cinta tidak lagi berpikir hak dan kewajiban.

Dalam sebuah kompetisi, kalah dan menang adalah hal yang biasa. Bergembira saat dukungan kita memang, dan kecewa saat dukungan kita kalah, itu adalah hal yang wajar. Tapi, sadarilah bahwa siapa pun yang menang, sesungguhnya kita semua yang menang.

 

Disarikan dari talkshow Smart Happiness “Pemilu: The Happiness Moment” di Radio SmartFM bersama Arvan Pradiansyah, Motivator Nasional—Leadership & Happiness.

Leave a Reply

Your email address will not be published.