Tahun Baru, Banyak Mau—Bisa Bahagia?

“We always want more and in this way are often motivated to get to greater knowledge, achievements and successes.” —Melanie

Tahun baru adalah momentum untuk menebar keinginan. Sudah menjadi watak manusia untuk menginginkan hal yang lebih. Jebakan dari menginginkan sesuatu yang lebih adalah kita memfokuskan pikiran kita pada hal-hal yang akan datang, bukan saat ini. Padahal, jika kita ingin bahagia, kita harus memfokuskan pikiran kita pada saat ini.

Ketika pikiran kita berfokus pada masa depan, kita cenderung sulit untuk mensyukuri apa yang ada di hadapan kita saat ini. Padahal, hidup itu bukan di masa depan, tapi di masa sekarang. Konsep kebahagiaan itu adalah “hidup di masa kini”, bukan “hidup untuk masa kini”. Kata kunci kebahagiaan adalah “be here now”.

Kita boleh memiliki mimpi besar. Bahkan, sebuah kesuksesan bermula dari mimpi besar? Tapi jangan sampai mimpi besar ini menyedot semua pikiran dan perhatian kita sehingga kita lalai dengan karunia Tuhan yang ada di hadapan kita saat ini.

Inilah kontradiksi antara “menginginkan” dan “menikmati”. Tingkat kebahagiaan kita bisa diukur dengan rumus “menikmati” dibagi “menginginkan”. Apa yang kita nikmati dibagi dengan apa yang kita inginkan. Di sanalah tingkat kebahagiaan kita berada.

Namun ada pula manusia yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Padahal, masa lalu itu sudah selesai, sudah terjadi, dan sudah mati. Bahkan, jika menggunakan kata-kata bombastis, Tuhan pun tidak bisa mengubah masa lalu. Lantas, masihkah kita berharap bisa mengubah masa lalu kita?

Masa lalu ada sejarah untuk kita ambil pembelajarannya, bukan untuk kita ubah. Kunci untuk melepaskan masa lalu adalah memaafkan. Kita harus memaafkan orang lain dan memaafkan diri kita sendiri. Memaafkan bukan berarti melupakan karena hal itu tidak mungkin. Tuhan membekali kita dengan pikiran untuk mengingat, bukan melupakan.

Analogi dari kehidupan ini adalah seperti buku. Setiap tahun Tuhan memberikan sebuah buku setelah 365 halaman kosong. Semua halaman tersebut suci. Sekotor apa pun masa lalu seseorang, dia memiliki masa kini dan masa depan yang masih suci.

Agar keinginan tidak mengganggu tingkat kebahagiaan, kita harus memastikan bahwa semua keinginan tersebut berada di bawah kontrol atau kendali kita. Untuk itu, kita harus mengalihkan “mau” kita yang bersifat “having” menjadi “doing”. Sebagai contoh: Kita mau punya rumah di tahun ini, menjadi kita akan menyisihkan sepersepuluh penghasilan kita untuk mencicil rumah di tahun ini.

Dengan mengubah kemuan kita dari “having” menjadi “doing”, kita telah mengubah kemauan kita dari yang semula uncontrollable menjadi controllable. Langkah selanjutnya adalah menuliskan kemauan kita agar memudahkan kita dalam melakukan tracking dan monitoring. Selain itu, dengan menulis, kita bisa menjernihkan pikiran kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published.