Trading Places

ARVAN PRADIANSYAH

Penulis Buku I Love Monday & Narasumber Talkshow “Smart Happiness” di SmartFM Network


 

Salah satu kesukaan saya adalah memanfaatkan waktu di Executive Lounge (EL) sebelum penerbangan ke sebuah tempat. Saya bisa berada di lounge 2-3 jam sebelum keberangkatan dan ini adalah waktu efektif saya untuk melakukan berbagai pekerjaan: membaca dan membalas email, menyiapkan materi talkshow, seminar dan workshop, membaca buku, maupun menulis artikel termasuk untuk majalah ini. Bekerja di lounge merupakan sebuah alternatif terbaik untuk memanfaatkan waktu di tengah agenda kerja yang padat. Bahkan selama tidak ada janji yang mendesak saya tidak terlalu dipusingkan dengan penundaan jadwal penerbangan. Alih-alih menjadi stres atau frustrasi saya malah memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan yang menumpuk. EL memang merupakan tempat yang produktif dan menyenangkan bagi saya.

Sampai pada suatu siang, saya menemukan sesuatu yang berbeda. Rupanya EL itu sedang direnovasi. Namun tak sekedar renovasi, EL kini menerapkan konsep baru yang disebut “Quiet Room”.

“Ini ruangan untuk istirahat, Pak,” kata petugas di lobi depan. “Disini harus sunyi dan tak boleh ada pengumuman apapun.”

“Oh ya,” kata saya sedikit terkejut, “Lantas, bagaimana dengan pengumuman pesawat yang berangkat atau delay?”

“Mengenai keberangkatan, kan sudah tertera di boarding pass Bapak, jadi tidak perlu kami ulang-ulang. Sedangkan untuk pesawat yang delay nanti ada petugas yang membawa papan pengumuman,” demikian kata petugas.

Merasa tak puas, saya kembali bertanya, “Apakah banyak orang yang complain dengan hal ini?”

“Banyak Pak,” jawab petugas

“Lantas bagaimana respon Anda?”

“Ya biar saja, lama-lama mereka akan terbiasa sendiri”

“Kok Anda bisa bilang begitu?”

“Ya, ini memang sudah peraturan Pak. Tugas kami adalah menjalankan peraturan.”

Itulah kali terakhir saya memanfaatkan EL. Sejak itu setiap ke bandara — saya ke bandara 3-4 kali seminggu —  saya masih menyempatkan diri mengunjungi EL sekedar untuk bertanya apakah peraturannya sudah berubah. Dan petugas selalu menjawab dengan konsisten, “Belum Pak, dan tidak akan berubah.”

Dalam hati saya bertanya mengapa peraturan menjadi penghambat bagi pengelola lounge ini untuk melayani pelanggan. Mana sesungguhnya yang lebih penting: peraturan atau pelanggan? Dan apa sesungguhnya esensi diciptakannya sebuah peraturan? Bukankah peraturan itu dibuat agar pelanggan lebih terlayani?

Saya menduga pertanyaan-pertanyaan seperti ini tak pernah terlintas dalam benak pengelola lounge. Dan sesungguhnya ini bisa terjadi pada siapapun, dalam bisnis apapun. Saya hanya menggunakan lounge ini sebagai contoh. Peraturan kadang-kadang diciptakan untuk melayani si pembuat peraturan bukan untuk melayani pelanggan yang sebetulnya menjadi tujuan utama pekerjaan.

Ketika bisnis hanya melayani kepentingan pelaku bisnis maka bisnis itu sesungguhnya sudah kehilangan rohnya, bahkan sudah keluar jalur. Ketika bisnis tak lagi melayani pelanggannya maka bisnis kehilangan makna dan nilai-nilai spiritualitas. Spiritualitas dalam bisnis adalah sebuah konsep terpenting di abad ini. Inti dari bisnis bukanlah pada kepentingan pelaku bisnis tetapi pada terpenuhinya kebutuhan dan keinginan pelanggan. Bisnis yang spiritual adalah bisnis yang memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada pelanggan. Inilah yang akan membuat kita merasa berharga, berguna, berarti, bermakna.

Langkah pertama dalam spiritualitas adalah melakukan Trading Places yaitu bertukar tempat. Kembali pada pengelola lounge, sesungguhnya langkah inilah yang sayangnya mereka lewati. Mereka sekedar menerapkan peraturan tetapi lupa bertukar tempat menjadi pelanggan. Bagaimana mungkin mereka menempatkan pelanggan dalam “ruangan sunyi” semacam itu, padahal soal pengumuman keberangkatan dan penundaan pesawat adalah hal yang terutama dan terpenting yang menjadi kebutuhan mendasar pelanggan bahkan mengalahkan semua kebutuhan yang lain?

Sekali lagi, EL ini hanya sebuah contoh saja. Seminggu yang lalu saya menginap di sebuah hotel bintang 5 di Jakarta. Saya menginap di hotel ini atas undangan klien karena perusahaan klien mengadakan pelatihan selama 2 hari penuh di hotel tersebut.

Yang menarik adalah apa yang terjadi di malam pertama. Menjelang jam 11 malam saya sudah mematikan lampu dan bersiap-siap tidur. Tiba-tiba pintu diketuk. Petugas hotel mengatakan bahwa ia mau mengambil semua “mini bar” saya. Petugas kemudian membuka kulkas saya dan mengeluarkan isinya satu persatu, mulai dari botol-botol minuman sampai semua makanan yang ada. Saya tertegun dibuatnya. Akhirnya petugas memindahkan semua isi kulkas ke dalam lemari di kamar tersebut dan langsung menguncinya.

“Bapak tidak menaruh uang jaminan, jadi kami harus melakukan hal ini,” kata petugas.

Saya bertanya kepadanya, “Apakah banyak orang yang complain karena perlakuan seperti ini?”

“Banyak sekali Pak. Tetapi ini memang sudah menjadi peraturan di hotel kami.”

Tujuan bisnis bukanlah menjalankan peraturan tetapi melayani pelanggan. Inilah inti dan hakekat bisnis yang sesungguhnya. Ketika melayani pelanggan kita sedang membuat hidup kita bermakna. Inilah kebahagiaan dalam arti yang sebenarnya. Inilah yang akan meninggikan martabat kita bukan hanya di hadapan pelanggan tetapi terlebih lagi di hadapan Tuhan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.