Youth & Happiness

ARVAN PRADIANSYAH

Penulis bestseller The 7 Laws of Happiness dan narasumber talkshow Smart Happiness di SmartFM Network

Seorang nenek menemui Nabi yang mulia dan berkata, “Wahai Nabi, doakanlah agar aku nanti bisa masuk ke dalam surga.” Sambil tersenyum, Nabi menjawab, “Sayang sekali Nek, di surga nanti tidak ada orang tua.” Mendengar hal ini nenek menangis tersedu-sedu, sampai Nabi kemudian mengatakan, “Di surga tak ada orang tua. Semua orang akan menjadi muda kembali. Di surga memang hanya ada orang muda.”

Surga adalah puncak kebahagiaan, dan berbagai ajaran menggambarkan bahwa surga itu hanya diisi oleh para pemuda. Pernahkah Anda merenungkan kisah manusia yang pertama Adam? Ketika Adam diciptakan Tuhan di surga, apakah ia seorang bayi, anak kecil, remaja, pemuda, atau orang tua? Saya kira bayangan kita tentang Adam kurang-lebih sama. Adam adalah seorang pemuda.

Kalau manusia pertama diciptakan Tuhan dalam bentuk seorang pemuda, pasti ada maksud Tuhan menciptakan semua itu. Saya menangkap bahwa ini adalah sebuah isyarat yang sangat jelas dari Tuhan, yaitu pemuda adalah periode kehidupan terpenting.

Perjalanan sejarah bangsa kita juga sudah membuktikan bahwa pemuda selalu berada di garis terdepan perjuangan bangsa. Salah satu momentum terpenting adalah Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 yang kini diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Namun sayangnya, Hari Sumpah Pemuda jarang diperingati dan tidak semeriah hari-hari bersejarah lainnya seperti Hari Kemerdekaan, Hari Kesaktian Pancasila, Hari TNI, dan Hari Pahlawan. Bahkan kalaupun diperingati, 28 Oktober hanya diperingati sebagai Bulan Bahasa. Ini menurut saya mereduksi makna Sumpah Pemuda yang sesungguhnya.

Menurut saya, walaupun secara resmi Indonesia baru diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sesungguhnya Indonesia telah lahir pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Dalam kongres pemuda tersebut para pemuda bukan hanya telah berikrar, tetapi juga bersumpah untuk menanggalkan atribut kedaerahan masing-masing demi terciptanya tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Dalam kongres tahun 1928 itu jugalah untuk pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan melalui biola W.R. Supratman. Jadi, sesungguhnya secara de facto itulah kelahiran bangsa Indonesia yang sesungguhnya.

Yang menarik, lagu Indonesia Raya juga memosisikan diri kita sebagai seorang pemuda. Coba perhatikan lirik berikut ini: “Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku.” Pertanyaannya, kalau Anda memandu ibu, apakah itu berarti Anda adalah seorang anak kecil, pemuda, atau orang tua? Anak kecil tidak bisa memandu, malah mungkin harus dipandu. Begitu juga dengan orang tua. Karena itu, satu-satunya yang bisa memandu adalah pemuda.

Jadi, sesungguhnya peran seorang pemuda sangatlah strategis. Pemuda adalah segala-galanya, lambang optimisme, kemajuan, gairah, semangat, dan kebahagiaan. Kebahagiaan orang muda berbeda dengan kebahagiaan orang tua. Kebahagiaan orang muda adalah kebahagiaan berkarya, sementara kebahagiaan orang tua adalah kebahagiaan menikmati. Karena itu, kalau seseorang tidak berkarya di masa mudanya, apa yang mau dinikmati? Bagaimana seseorang yang tua bisa dengan bangga bercerita kepada anak-cucunya kalau dia tidak berkarya di masa mudanya?

Sebetulnya kalau bicara mengenai kebahagiaan, kemudaan itu tidaklah semata-mata berkaitan dengan usia seseorang. Kemudaan bisa juga bermakna spiritual. Jadi, bisa saja secara fisik seseorang dikatakan tua tetapi dia masih berjiwa muda. Karena itu, kita dapat menggolongkan manusia ke dalam empat golongan. Pertama, pemuda yang berjiwa muda. Inilah orang-orang yang bahagia, yang diharapkan dapat menciptakan berbagai perubahan dalam hidup banyak orang.

Kedua, pemuda yang berjiwa tua. Ini saya sebut sebagai orang-orang yang fatalis. Para pemuda yang semacam ini telah menjadi tua sebelum waktunya. Mereka tidak menyukai tantangan, tidak ingin perubahan. Mereka hanya sekadar menjalani kehidupan yang menjemukan.

Ketiga, orang tua yang berjiwa muda. Meski secara fisik tak dapat disebut muda lagi, tetapi orang-orang ini selalu bersemangat, masih menyukai tantangan, tidak ingin perubahan. Mereka hanya sekadar menjalani kehidupan yang menjemukan.

Ketiga, orang tua yang berjiwa tua. Mereka sudah merasa segala sesuatunya cukup, mereka sudah tidak berambisi, dan tidak berusaha lagi menciptakan terobosan. Mereka mungkin juga sudah berorientasi ke akhirat, merindukan kembali lagi menjadi muda di surga nanti.

Kita lambat laun akan menua. Ini hukum alam yang tak terelakkan. Namun yang menarik, secara spiritual kita bisa terus menjadi muda. Berjiwa muda adalah sebuah pilihan. Inilah pilihan yang membahagiakan. Saya teringat sebuah lagu yang dibawakan Frank Sinatra: “Fairy tales can come true, it can happen to you if you are young at heart. For it’s hard, you will find to be narrow of mind, if you are young at heart. []

Dimuat di Majalah SWA 23 | XXXI | 29 Oktober – 11 November 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published.