Education and Happiness

“The ultimate end of education is happiness or a good human life …” -Mortimer Adler

Mortimer Adler, seorang pakar pendidikan di Amerika, pernah mengatakan bahwa tujuan akhir dari pendidikan adalah kebahagiaan. Pertanyaan besarnya adalah, apakah kita bahagia saat menempuh pendidikan? Jika kita tidak bahagia saat menempuh pendidikan, bagaimana mungkin bisa menghasilkan kebahagiaan?

Apakah benar pendidikan mengarahkan anak-anak kita kepada kebahagiaan? Lihatlah siswa yang hendak menempuh UN (Ujian Nasional). Meski saat ini UN sudah tidak lagi menjadi standar kelulusan, siswa yang menghadapi UN dihinggapi perasaan was-was yang berkepanjangan. UN tetap menjadi momok bagi mereka.

Ini terjadi karena pendidikan kita tidak mengarahkan siswa menuju kebahagiaan, melainkan menuju kemampuan menjawab soal dengan benar yang direpresentasikan dengan nilai. Para siswa berlomba untuk meraih nilai yang baik, entah itu dengan cara yang benar maupun dengan cara yang salah. Ini terjadi karena kecerdasan siswa disamakan dengan kemampuan menjawab soal.

Pendidikan seharusnya tidak mengarahkan siwa kepada “nilai”, melainkan kepada “nilai-nilai” (values) yang tertanam di dalam diri mereka. Nilai-nilai inilah yang akan menjadi bekal bagi mereka untuk menghadapi tantang di masa depan.

Happiness (kebahagiaan) yang menjadi tujuan akhir dari pendidikan itu bermakna flourish (berkembang). Itu artinya, pendidikan seharusnya memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk tumbuh, berkembang setinggi-tingginya sesuai fitrahnya untuk menjadi manusia paripurna atau insan kamil.

Semua pelajaran yang diberikan di sekolah itu penting. Tidak ada pelajaran yang tidak penting. Hanya saja, apakah semua pelajaran itu harus diberikan kepada setiap anak? Mari kita bandingkan dengan mata pelajaran yang diberikan kepada anak-anak di negara-negara maju.

Di Finlandia, negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik saat ini, siswa sekolah dasar hanya diajarkan mata pelajaran Bahasa Finlandia, Matematika, Agama dan Etika, Olah Raga, dan Musik. Di Jepang, siswa sekolah dasar hanya diberikan 5 mata pelajaran, yakni: Bahasa Jepang, Matematika, Seni, Olah Raga, dan Life Skills.

Di Finlandia, seorang anak tidak boleh masuk sekolah dasar sebelum berusia 7 tahun. Di tanah air, orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah dasar sebelum anaknya berusia 7 tahun. Semakin muda, semakin membanggakan bagi orang tua.

Ada pula sebagian sekolah yang mewajibkan calon siswa kelas 1 sudah bisa membaca dan menulis. Akibatnya, siswa yang belum bisa membaca dan menulis dipaksa orang tuanya untuk belajar membaca dan menulis pada usia yang sangat dini. Hal ini justru membuat si anak menjadi tertekan.

Di negara-negara maju, berlaku sistem pendidikan yang terdesentralisasi. Sekolah memiliki kewenangan untuk menentukan kurikulum sendiri disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan kearifan setempat. Namun hal ini harus ditunjang dengan keberadaan guru-guru yang berkualitas.

Para orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah terdekat, bukan sekolah terbaik. Di sana tidak ada sekolah terbaik karena semua sekolah sama baiknya. Tidak ada sekolah yang lebih unggul daripada sekolah yang lain.

Kita tidak harus menjiplak sistem pendidikan dari negara-negara maju. Tapi kita harus mengambil yang baik dari mereka, mengadaptasinya agar sesuai dengan kebudayaan kita. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan kebudayaan karena pendidikanlah yang membentuk kebudayaan; dan kebudayaan yang melahirkan pendidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.