Fake Love

Ada sebuah cinta yang sering kali disamarkan, seolah-olah sesuatu itu indah, seolah-olah sesuatu itu penuh rahmat, padahal ia sesungguhnya sesuatu yang sangat berbahaya dan menghancurkan kita semua. Itulah cinta palsu.

Cinta yang sejati adalah cinta yang selalu memberi (giving). Sebaliknya, cinta yang palsu selalu berpikir mendapatkan (getting). Ketika seseorang selalu berpikir mendapatkan apa, maka itu bukanlah cinta, melainkan kepentingan.

Hal serupa terjadi dalam dunia politik. Harold D. Laswell pernah merumuskan politik sebagai Who Gets What, When, How. Siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Kalaupun ada yang mengatasnamakan rakyat, sesungguhnya itu adalah fake karena yang dipikirkan adalah getting, mendapatkan.

Kita sesungguhnya membutuhkan negarawan yang berpikir apa yang bisa diberikan kepada masyarakat karena dasar dari cinta adalah giving, memberi. Hal serupa berlaku di semua sektor, termasuk perusahaan dan keluarga.

Di dunia ini tidak ada orang yang hanya selalu menjadi giver. Yang hanya selalu menjadi giver adalah sesuatu yang tidak memiliki kepentingan apa pun di dunia. Dan itu adalah Tuhan.

Selama manusia hidup, setiap orang pasti taker. Tetapi cinta memastikan bahwa kita memberi lebih banyak daripada mendapatkan. Bahkan, dalam cinta, saat memberi sesungguhnya kita sudah langsung menerima.

Saat memberikan uang kepada pengemis di jalan, kita langsung mendapatkan perasaan tersentuh yang membuat kita bahagia. Dalam kepentingan, ketika kita memberi, kita merasa kehilangan. Sedangkan dalam cinta, ketika kita memberi, kita langsung mendapatkan.

Kita memberi yang tangible, dan mendapatkan sesuatu yang intangible. Kalau dalam memberi saja kita sudah mendapatkan, apalagi saat kita mendapatkan. Cinta mengubah yang tangible menjadi intangible.

Love selalu mengajarkan bagaimana membangun sesuatu, bukan menghancurkan. Cinta adalah naluri manusia, tetapi menghancurkan bukanlah naluri karena sesuatu yang dipelajari.

Salah satu bentuk fake love adalah nafsu. Untuk mengetahui apakah sesuatu itu fake love, kita bisa memberikan ujian-ujian. Kalau Anda ingin menilai orang, jangan lihat ketika dia baik karena kebaikan bisa dipalsukan. Lihatlah orang dalam ketidakbaikan karena ketidakbaikan tidak bisa dipalsukan.

Cinta adalah bagian dari kecerdasan emosional. Bagaimana kita bisa merespons stimulus yang membuat kita iba, tersentuh, ingin membantu, dan sebagainya. Orang yang tidak bisa berempati, belas kasih, adalah mereka yang tidak cerdas secara emosional.

Di atas kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi ada kecerdasan spiritual, yakni ketika kita bisa melihat cinta sebagai sesuatu yang tak bersyarat (unconditional love). Tugas kita adalah memberikan kebaikan. Ketika kebaikan kita disalahpahami bisa jadi terjadi masalah komunikasi.

Cinta yang indah itu ditumbuhkan pelan-pelan. Cinta itu selalu berproses. Sesuatu yang instan patut dicurigai sebagai fake love.

Hanya ada satu cara agar tidak terjebak dengan fake love, yakni gunakan akal sehat. Tuhan menurunkan dua wahyu kepada kita: yang pertama kitab suci, dan yang kedua adalah akal sehat. Cinta yang benar adalah cinta yang sesuai dengan akal sehat. []

 

Disarikan dari talkshow Smart Happiness “Fake Love” di Radio SmartFM bersama Arvan Pradiansyah, Motivator Nasional—Leadership & Happiness.

Leave a Reply

Your email address will not be published.