On Death: The Happiness Perspective

“To the well-organized mind, death is but the next great adventure.” —J. K. Rowling

Banyak orang yang takut dan menghindari berbicara tentang kematian. Hal ini bisa dipahami karena kita saat ini hidup dalam kultur yang menyangkal kematian. Kematian dianggap sebagai sebuah tragedi yang menyakitkan, menakutkan sekaligus menyeramkan sehingga kita harus menghindarinya.

Penyangkalan ini tumbuh dari dunia yang materialistis. Di dunia sekarang ini segala sesuatu dinilai dengan materi, kebendaan, sehingga kita melupakan hakikat kita yang bukan hanya makhluk materi (fisik) melainkan juga makhluk spiritual. Padahal, hakikatnya manusia adalah makhluk spiritual yang kebetulan singgah sementara di rumah fisiknya di dunia dalam bentuk tubuh kita.

Saat tubuh kita mulai menua, dia pun tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi diri spiritual kita. Di saat itulah, kita akan mencari tempat tinggal baru, dan meninggalkan tempat tinggal lamanya di dunia.

Kabar gembiranya, rumah kita yang akan datang bisa kita persiapkan dari sekarang. Segala perbuatan kita di dunia ini menentukan akan seperti apa rumah kita kelak di alam spiritual.

Setiap perbuatan baik kita, pada hakikatnya berarti mengirimkan benda-benda (dalam makna spiritual) yang bagus ke rumah kita yang akan datang. Sebaliknya, perbuatan buruk kita hakikatnya berarti mengirimkan benda-benda rongsokan ke rumah kita yang akan datang.

Kematian bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan sebuah proses perpindahan dari rumah kita yang lama (kehidupan di dunia) ke rumah kita yang baru (di alam spiritual). Kematian hanyalah istilah yang kita ciptakan untuk menggambarkan ruh yang meninggalkan fisik kita di dunia.

Itulah mengapa kematian juga dikenal dengan frasa lain, ‘meninggal dunia’: saat ruh kita meninggalkan dunia fisik menuju ke keabadian. Meninggal dunia memang membekaskan kepedihan dan kesedihan pada orang-orang yang kita tinggalkan, tetapi tidak dengan orang yang  meninggalkan.

Meninggal dunia bisa dianalogikan dengan mudik atau pulang kampung, yakni pulang ke asal-usul kita. Apa yang kita rasakan saat mudik? Sedih atau gembira? Mungkin bagi orang yang ditinggal mudik, mereka akan merasa sedih. Namun orang yang berangkat mudik merasakan kegembiraan karena akan berjumpah dengan asal-usulnya, dengan orang-orang yang dia cintai.

Demikian pula dengan kematian. Kematian pada hakikatnya adalah kembali ke asal kita, yakni Tuhan Sang Maha Pencipta. Orang-orang yang kita tinggalkan mungkin akan bersedih karena kehilangan kita, namun kita seyogianya berbahagia karena akan berjumpa dengan asal-usul kita, Tuhan Sang Maha Pencipta.

Kesadaran bahwa kematian akan menjelang kita akan memberikan dampak yang positif bagi kehidupan kita. Banyak penelitian yang dilakukan kepada ‘orang-orang yang kembali dari kematian’ (mereka yang mengalami near death experiece) menunjukkan bahwa mereka lebih menghargai kehidupan, lebih bersyukur, dan melihat dunia sebagai sesuatu yang lebih indah daripada sebelumnya.

Kesadaran akan adanya batas hidup ini justru membuat kita menjadi lebih tenang, membuat segala sesuatu di sekitar kita terlihat indah, dan memacu kita untuk memberikan yang terbaik kepada apa pun yang akan kita tinggalkan.

Kematian sesungguhnya bukanlah sebuah tragedi selama itu merupak keputusan dari Sang Maha Memiliki Kehidupan. Kematian hakikatnya adalah pulang mudik ke asal-usul kita, dan seharusnya tidak perlu kita sangkal dan hindari. Sebaliknya, kita persiapkan semuanya dengan perasaan yang bahagia, bahwa kita akan segera berjumpa dengan Sang Maha Kekasih.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.