Forgiveness

“Everyone thinks forgiveness is a lovely idea until he has something to forgive.” —C. S. Lewis

Memaafkan (forgiveness) adalah kata yang ringan diucapkan, tapi berat dilaksanakan. Ketika seseorang berujar, “Memaafkan itu adalah perkara yang gampang,” bisa jadi dia tengah berdusta atau belum pernah mengalami sendiri kejadian menyakitkan yang memberikan kesempatan kepadanya untuk memaafkan.

Kesulitan kita dalam memaafkan terjadi secara alamiah karena kecenderungan manusia yang mencari keadilan dan keseimbangan. Adil jika seseorang yang melakukan A dibalas dengan A. Seimbang jika seseorang yang memberikan 10 harus mendapatkan 10 juga.

Untuk bisa memaafkan, satu-satunya jalan bagi kita adalah meminta kekuatan dari Sang Maha Pemaaf. Tanpa bantuan Tuhan, mustahil bagi kita untuk bisa memaafkan seseorang yang menyakiti dan melukai diri kita meski sesungguhnya memaafkan itu adalah sesuatu yang baik dan sangat kita butuhkan.

Selain dorongan kecenderungan manusiawi yang selalu mencari keadilan dan keseimbang, kesulitan kita dalam memaafkan juga dipengaruhi oleh mitos-mitos menyesatkan tentang memaafkan. Dalam buku The 7 Laws of Happiness ada 8 mitos tentang memaafkan sebagai berikut:

  1. Memaafkan itu untuk kepentingan orang lain

Saat memaafkan sesungguhnya kita membantu diri kita sendiri. Kita menghadiahi diri kita kebebasan dari belenggu masa lalu yang menyakitkan. Kita membebaskan diri kita himpitan dan deraan emosional yang menyiksa kita.

  1. Memaafkan berarti melupakan

Memaafkan dan melupakan adalah dua hal yang berbeda. Memaafkan sangat diperlukan untuk kesehatan lahir dan batin kita sendiri. Sebaliknya, melupakan sungguh berbahaya bagi kita. Melupakan sesuatu dapat menjerumuskan kita kepada peristiwa tersebut untuk kedua kalinya. Seorang filsuf Spanyol George Santayana pernah mengatakan, “Orang yang melupakan akan dikutuk untuk mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya.”

  1. Memaafkan adalah proses dua arah

Memaafkan hanya membutuhkan 1 orang, dan orang itu adalah kita sendiri. Kita tidak perlu menunggu orang lain meminta maaf karena memaafkan bukan urusan orang lain, melainkan urusan kita sendiri. Kitalah yang bertanggung jawab terhadap perasaan-perasaan buruk yang menerpa kita jika kita tidak memaafkan orang lain, bukan orang lain.

  1. Memaafkan baru bisa dilakukan setelah kita membalas

Membalas sebuah tindakan buruk dengan keburukan lagi acap menggiring kita kepada tindakan yang tidak adil dan berlebihan. Alih-alih akan menyelesaikan masalah, perbuatan Ini justru memperpanjang masalah dan menciptakan permusuhan yang tidak berkesudahan.

  1. Memaafkan membebaskan orang lain dari dosa dan tanggung jawab

Memaafkan adalah urusan kita. Dosa dan tanggung jawab adalah urusan orang lain. Tidak ada kaitannya antara urusan kita dengan urusan orang lain. Orang yang berbuat dosa akan mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya (baca artikel saya: Dosa). Meski kita sudah memaafkan orang lain, dia tetap menanggung akibat dari perbuatannya.

  1. Memaafkan menunjukkan kebodohan dan kelemahan kita

Kemampuan memaafkan justru menunjukkan bahwa kita kuat; bahwa kita tidak mudah dilukai; bahwa kita tidak memiliki ketergantungan pada orang lain; bahwa apa pun yang dilakukan oleh orang tersebut tidak membawa pengaruh yang berarti kepada kita. Secara manis, Mahatma Gandhi mengungkapkan, “The weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong.”

  1. Memaafkan memberikan kekuasaan kepada orang lain

Kekuasaan apa yang kita dapatkan dengan tidak memaafkan orang lain? Tidak ada sama sekali, bukan? Sebaliknya, dengan tidak memaafkan, kita justru memberikan kekuasaan pada orang lain untuk menguasai diri kita lebih dalam lagi. Bukankah dengan tidak mau memaafkan, kita membawa bayang-bayang orang lain dalam keseharian kita? Dengan tidak memaafkan, kita mengulang-ngulang peristiwa buruk yang kita alami dengan orang itu. Bukankah ini sudah merupakan bukti yang cukup bahwa orang tersebut begitu menguasai kehidupan dan pikiran kita?

  1. Memaafkan berarti menyetujui perbuatan orang lain

Memaafkan adalah memahami. Memaafkan sama sekali bukan menyetujui. Dengan memaafkan, kita memahami mengapa orang lain melakukan kesalahan. Dengan memaafkan, kita mencoba masuk ke dalam cara berpikir orang lain dan memaklumi bahwa keterbatasan cara berpikir itulah yang menggiring mereka untuk melakukan tindakan yang tercela.

Demikianlah 8 mitos memaafkan yang tanpa kita sadari semakin membuat kita sulit untuk memaafkan. []

Leave a Reply

Your email address will not be published.