Fanatisme vs. Kasih

Belum lama kita berpisah dengan kemeriahan dan kesuksesan pentas olahraga terbesar se-Asia, dunia olahraga kita dicoreng oleh kejadian tragis yang menimpa seorang suporter klub sepakbola Haringga Sirila. Haringga tewas dikeroyok oleh suporter klub lawan menjelang pertandingan antara kedua klub sepakbola.

Tragedi ini membuka mata kita tentang sisi gelap fanatisme yang bukan hanya terjadi dalam dunia olahraga, melainkan juga dalam agama dan politik. Tanpa disadari, banyak di antara kita yang terjebak dalam subconscious mind yang bernama fanatisme.

Secara sederhana, fanatisme adalah mindset yang memandang bahwa hanya kelompoknyalah yang benar. Segala sesuatu yang berasal dari luar kelompoknya pasti salah. Pandangan inilah yang acap memicu aksi kekerasan kepada siapa saja yang berada di luar kelompoknya, terlebih lagi pada kelompok yang nyata-nyata berseberangan.

Orang yang fanatik telah membangun benteng kokoh yang mengelilingi dirinya, dan menolak setiap masukan, ide-ide yang berasal dari luar kelompoknya. Orang yang fanatik memiliki antusiasme atau semangat yang berlebihan dalam membela kelompoknya.

Antusiasme atau semangat bukanlah hal yang buruk, tetapi jika hal ini dimiliki secara berlebihan, maka akan menjelma menjadi fanatisme yang buruk. Semangat adalah hal yang baik, tetapi terlalu bersemangat adalah hal yang kontraproduktif.

Menurut Carl Gustav Jung, fanatisme berasal dari keraguan yang ditekan (repressed doubt). Orang yang ragu terhadap kemampuan dirinya, menekan keraguan tersebut dalam-dalam. Hasilnya muncullah sebuah keyakinan yang berlebihan.

Di sinilah letak paradoks dari keraguan, yakni keyakinan yang berlebihan. Bisa dikatakan bahwa terlalu yakin adalah ciri orang yang ragu. Semakin tinggi tingkat keraguan kita, semakin tinggi pula benteng yang kita bangun untuk melindungi diri kita.

Benteng kokoh yang kita bangun akan mematikan 2 hal: akal sehat dan cinta kasih. Dengan membangun benteng dalam diri kita, maka sesungguhnya kita telah memutuskan (disconnect) dari segala sesuatu yang berasal dari luar.

Orang yang berada di dalam benteng yang kokoh akan kehilangan kepekaan karena mereka terputus dari dunia luar. Padahal, salah satu ciri kasih adalah keterhubungan (connectedness), bukan keterputusan (disconnectedness) dari dunia luar.

Alih-alih membangun benteng, orang yang yakin sedianya membangun jembatan agar dirinya terhubung dengan dunia luar. Salah satu upaya untuk meruntuhkan benteng yang selama ini terbangun dalam alam bawah sadar kita adalah dengan menyadari bahwa kita manusia.

Kebenaran yang kita yakini hanyalah perspektif yang relatif. Di luar sana, ada orang lain yang memiliki perspektif lain yang sama benarnya dengan apa yang kita yakini. []

 

Disarikan dari talkshow Smart Happiness “Fanatisme vs. Kasih (Tragedi Haringga Sirila)” di Radio SmartFM bersama Arvan Pradiansyah, Motivator Nasional—Leadership & Happiness.

Leave a Reply

Your email address will not be published.