The Happiness Illusion

Seperti yang telah disinggung dalam siaran dan rangkuman Smart Happiness, Jumat, 03 April 2015, tentang What Is Your Happiness Type bahwa setiap orang ingin hidup bahagia. Setiap orang melakukan sesuatu karena dorongan untuk mencapai kebahagiaan. Lantas, mengapa ada orang yang tega melakukan kejahatan? Apakah mereka melakukan hal tersebut juga untuk meraih kebahagiaan?

Jawabannya tentu saja, “Ya!” Apa pun yang dilakukan manusia, pada hakikatnya karena dorongan untuk mencapai kebahagiaan. Hanya saja, manusia sering tertipu. Mereka menyangka dengan melakukan sesuatu (kejahatan), mereka akan meraih kebahagiaan, namun pada kenyataan yang mereka raih adalah kesengsaraan. Itulah yang disebut happiness illusion.

Seorang koruptor menyangka dengan korupsi, dia akan bahagia. Seseorang yang berselingkuh mengira  dengan mengkhianati pasangannya, dia merasa bahagia. Pun seorang pembunuh menduga dengan membunuh, dia bisa menyingkirkan orang yang dibencinya, dan oleh karena itu, dia mengecap kebahagiaan. Korupsi, selingkuh, membunuh, dan sebagainya telah menjadi ilusi kebahagiaan bagi orang-orang yang tertipu.

Ilusi berbeda dengan halusinasi. Ilusi itu nyata, ada. Saat orang melakukan korupsi, selingkuh, atau bahkan membunuh, mereka memang merasakan kenikmatan. Namun kenikmatan itu ternyata telah menipu mereka. Mereka telah termakan oleh ilusi kebahagiaan yang hanya menampakkan satu sisi dari sebuah perbuatan.

Mereka tidak melihat bahwa di balik tindakan korupsi, selingkuh, atau membunuh terdapat sisi lain yang akan mengantarkan mereka pada penderitaan dan penyesalan. Penglihatan mereka telah dibutakan oleh ketidaksabaran; ketidakmampuan mereka menunda respons dari stimulus yang mengiming-imingi kebahagiaan.

Seandainya mereka mau bersabar (menunda respons), mereka akan mampu melihat dengan jernih bahwa di balik setiap tindakan ada konsekuensi yang harus dibayar. Saat tidak bersabar, mereka lupa pada adagium populer “There is no such thing as a free lunch”.

Semua yang ada di dunia ini ada harganya. Persoalannya, apakah kita akan membayar harga itu dimuka (investasi) atau menebusnya di belakang (biaya). Setiap orang ingin hidup berkecukupan atau bahkan lebih. Orang yang sabar akan berinvestasi dengan mengeyam pendidikan yang tinggi, bekerja keras, berdisiplin untuk bisa hidup berkecukupan.

Di sisi lain, orang yang tidak sabar lebih memilih jalan pintas dengan mencuri uang rakyat, misalnya, karena sebelumnya ia merasa telah “berinvestasi” dengan mengeluarkan uang suap untuk mendapatkan jabatan tertentu. Merekalah orang-orang yang tertipu dengan ilusi kebahagiaan, yakni orang-orang yang tidak bersabar.

Leave a Reply

Your email address will not be published.